Minggu, 10 Maret 2019

Mengenal Lebih Dalam Kraton Yogyakarta



Judul Buku : Ensiklopedi Kraton Yogyakarta
Penulis : -
Penerbit : Dinas Kebudayaan DIY
Tahun : 2014
Tebal : 378 Halaman
ISBN : -


Nusantara adalah aset yang harus di wariskan kepada penerus bangsa Indonesia. Termasuk kekayaan budaya dan pengetahuan di dalamnya. Nusantara yang terdiri dari kepulauan yang membentang dari Sumatera sampai Papua, yang merupakan wilayah Negara Indonesia. Salah satu kota di Nusantara ini yang memukau dengan panorama kebudayaan serta keindahan tiap detailnya yaitu Yogyakarta.

Bagian mempesona yang terdapat di Yogyakarta yaitu Kraton Yogyakarta. Latar kerajaan, adat istiadat, langit, jalanan di waktu petang, nyanyian, jejak kaki, serta sesuatu yang dianggap memiliki nilai kebudayaan lainnya membuat siapa saja di hantui rasa penasaran akan pesona Kraton Yogyakarta ini. Dengan hadirnya buku Ensiklopedi ini mengantarkan para pembaca untuk mengenal lebih dalam tentang Kraton Yogyakarta. Buku ini adalah miniatur Kraton Yogyakarta secara tertulis.


Pembaca di buat takjub terhadap isi dari buku Ensiklopedi ini. Dinas Kebudayaan sebagai pihak yang telah menerbitkan buku Ensiklopedi ini mampu menemukan sekaligus merangkap kehidupan Kraton Yogyakarta dengan baik dan lengkap. Dinas Kebudayaan DIY dan buku ini bermetamorfosa mengeluarkan keindahan kebudayaan suatu latar pada waktu yang tepat. 



Penyajian isi buku ini juga dikemas dengan begitu elegan, melibatkan banyak unsur khas yang menjadi sebuah substansi suatu tempat, seperti tentang kuliner, kesenian, arsitektur, busana, pusaka, seni rupa serta sejarah lambang Kraton Yogyakarta dan adat istiadat lainnya yang terdapat di dalam buku Ensiklopedi ini. Realita yang sebenarnya sudah tergambar melalui buku Ensiklopedi ini. Layaknya sebuah identitas yang mengalir dalam arus sungai kata-kata. Di sertai dengan ilustrasi gambar yang melengkapi kata-kata membuat pembaca merasa senang dengan kelengkapan buku Ensiklopedi ini.

Dinas Kebudayaan DIY berhasil menghadirkan buku Ensiklopedi ini dengan baik. Pasalnya, di dalam buku Ensiklopedi ini juga di jelaskan tentang sejarah lambang Kraton Yogyakarta yang ternyata penuh makna sebagai simbol yang pernah mirip dan di pengaruhi oleh kerajaan Belanda dan nuasa Eropa (Hal. 325). Sebagai salah satu seni rupa yang ada di Kraton Yogyakarta, lambang ini mengalami perubahan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VIII. Yang mana Sri Sultan Hamengku Buwono VIII mengangkat seni budaya sendiri sebagai bukti jiwa nasionalisme dalam lambang Kraton agar dapat memberikan nilai kearifan lokal dengan cita rasa estetik bangsa sendiri.


Buku Ensiklopedi ini juga memiliki cover yang elegan sesuai dengan Kraton Yogyakarta. Tak ada cela yang hadir. Buku ini sebagai bagian nusantara yang menjadi jendela untuk melihat kebudayaan latar Kraton Yogyakarta beserta keseluruhan kajian berbagai unsur di dalamnya. Maka dari itu, seiring berkembangnya zaman buku Ensiklopedi ini juga akan semakin berkembang namun tetap mempertahankan esensi dengan isi warisan kebudayaan Kraton Yogyaarta. Kelak akan sampai kepada para pembaca serta tunas bangsa yang siap tumbuh dan mempertahankan kebudayaannya. Semoga. Tabik.



Note : Resensi ini merupakan juara 3 dalam rangka Lomba Resensi Buku Ensiklopedia Kraton Yogyakarta (Buku bisa dibaca di Ijogja : download aplikasi melalui playstore dsb.) di Bulan Gemar Membaca September 2018 yang di selenggarakan oleh Grhatama Pustaka.

Sabtu, 09 Februari 2019

Resensi Novel Bilangan Fu : Kompleksitas Teologi dan Ketokohan dalam Novel Bilangan Fu




Judul Buku : Bilangan Fu
Penulis : Ayu Utami
Penerbit : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Tahun : Oktober 2018
Tebal : x + 562 Halaman, 13,5 x 20 cm
ISBN : 978-602-424-397-5
Kisaran Harga : Rp. 120.000 (Harga Pulau Jawa)
Penghargaan : Khatulistiwa Literary Award 2008


Kegiatan yang biasanya ditujukan untuk menganalisis, memahami, dan mengatasi secara rasional masalah-masalah yang dihadapi dalam kehidupan ini sesekali memang perlu diungkapkan dengan cara dan kalimat-kalimat yang indah. Tanpa menggugurkan mitos keindahan itu sendiri di dalamnya, sebaiknya memang cocok menggunakan sesuatu yang lebih menantang dan tidak menghilangkan makna serta nilai estetik yang terkandung di setiap rute kehidupan. Tetapi, akan kah menjadi tetap indah dan bermakna apabila dimuseumkan dalam kenang dan tanda tanya ?. Mungkin iya, mungkin tidak. Taruhan. Hidup ini bisa kapan dan dimana saja menjadi taruhan. Taruhan, kata Sandi Yuda dalam Novel Bilangan Fu karya Ayu Utami.

Betapa menyedihkan melihat sesuatu yang sederhana, terlupakan, atau jarang disebut : tidak seorangpun yang menyambut atau memujinya, dan semua tampak mengganggap biasa saja atau remeh dari kacamata ideologi yang padahal tidak masuk akal. Tidak masuk akal apabila ia seorang pembaca tak tahu tempat, asal-asalan, netral, dan sebutan yang sama tidak masuk akal tetapi keluar dari praduga peribahasa tong kosong nyaring bunyinya. Maka dari itu, seperti memang sengaja di adakan rambu lalu lintas dalam Novel Bilangan Fu karya Ayu Utami di sepuluh halaman pertamanya, sederhana dan tidak boleh dilupakan.

Apa yang tak selesai kau pahami disini, tak boleh kau tanyakan padaKu diluar.” (Hlm.10)

Penulis maupun pembaca sedang di harapkan oleh Novel Bilangan Fu berada di tempat paling terhormat, bukan pada posisi tengah-tengah, netral, atau sebuah tempat seperti di antara dua lilin persembahan sekte tertentu. Dalam tempat atau posisi yang dipilih pembaca, tercermin orang-orang yang latar belakang kehidupannya berbeda bisa memliki pendapat yang sangat berbeda, sama, atau bahkan tidak peduli dan tidak memahami sama sekali novel Bilangan Fu. Rangkaian cerita epik yang patut mendapat perhatian sekaligus sanjungan dengan aneka nilai, gagasan dan realitas yang dibidik penulis dalam novel ini dapat ditemukan pemadatannya yang lugas, karya yang sangat kaya dari berbagai aspek kajian juga demikian sarat beragam kritisme dari seorang pembaca maupun penelaah penafsiran lebih lanjut novel Bilangan Fu.

Jadilah pembaca yang bijak.


Ayu Utami dalam Bilangan Fu

Sebagian besar penggiat sastra tak ada yang tak kenal dengan sosok Ayu Utami, termasuk siapapun yang akrab dengan benda bernama buku novel. Biografi nya akan dengan mudah di temukan dalam berbagai sudut bagian belakang buku karya nya yang berbaris rapi di setiap toko buku, perpustakaan, maupun pengikut karya Ayu Utami. Kehadiran buku sebelumnya sudah mengawali demam hebat berbagai aspek sosial dan kebudayaan yang tabu maupun biasa sehari-hari yang dikemas dalam sebuah kisah di novel. Kemudian, pada kesempatan ditahun 2018, salah satu buku novel karya Ayu Utami terbit kembali setelah 10 tahun lalu terbit di tengah euforia agama. Persis seperti yang di ungkapkan Ayu Utami pada catatan dan terimakasih di edisi 10 tahun buku tersebut.

Perubahan pada percetakan kedua menambah kesan istimewa pada penulis serta novel Bilangan Fu. Novel yang di sebutkan istimewa oleh penulisnya sendiri pada catatan dan ucapan terimakasih akan membawa pembaca kepada rasa dahaga terhadap makna istimewa yang dimaksud penulis. Penulisan novel ini tidak mungkin atas dasar imajiner belaka untuk kelas seorang penulis seperti Ayu Utami yang telah menjadi pelopor kenaikan tahta sastra Indonesia. Sebelum kisah novel Bilangan Fu mengkristal, tokoh ‘aku’ atau ‘Sandi Yuda’ yang kemudian menjadi narator dalam novel ini oleh penulis Ayu Utami di ceritakan kembali olehnya pada sebuah pertemuan dalam novel Bilangan Fu atau dalam eksplisit kehidupan realistis. Jenaka juga turut dihadirkan bersama penulis dalam ungkapannya terkait kehadiran tokoh penting pada suatu acara kemasyarakat.


(Dalam acara inilah aku bertemu dengan seseorang yang kemudian menjadi dekat denganku. Ia seorang penulis. Namanya Ayu Utami. Sebuah kebetulan yang aneh, tanggal lahir kami sama. Hanya saja aku lebih muda sepuluh ahun darinya. Hubungan kami berlanjut sampai sekarang. Dialah yang menyunting karangan ini. Tepatnya, dialah yang menulis ulang kisahku, sehingga menurutku namanya lebih pantas tercantum di buku ini)” (Hlm.479)

Jika saja Gus Dur tidak sedang menjadi Presiden, di percaya bahawa ia bersedia datang” (Hlm.479)


Bagian ini membuat penulis seolah turut menjadi tokoh nyata pada novel Bilangan Fu, sehingga penulis membuat alur dengan teknik yang lugas pada isinya namun menjadi sangat variatif dalam bentuk dan alurnya dengan kehadirannya secara eksplisit di dalam novel tersebut. Bagi pembaca, hal ini seolah penulis memang ingin di akui dalam keberkaryaannya, dan memang begitu seharusnya seorang penulis. Terutama penulis yang memang sudah memiliki kredibilitas dan kualifikasi yang menawan atas karya-karya yang berhasil dilahirkan dengan baik.

Bilangan Fu yang sebelumnya di iringi oleh seri Bilangan Fu dalam novel lainnya yaitu Manjali dan Cakrabirawa; Lalita; Maya. Kemudian, seri Bilangan Fu tersebut menjadi keberangkatan awal Ayu Utami dalam menulis puncak istimewa yang di capai nya yaitu novel Bilangan Fu. Seri Bilangan Fu sendiri memiliki perbedaan yang signifikan yang juga dengan matang dikemas oleh penulis, Seri Bilangan Fu yang mengulas petualangan Sandi Yuda, Marja, dan Parang Jati dibumbui dengan latar arkeologi dan khazanah budaya semakin membuat jalan awal yang mulus untuk puncak novel Bilangan Fu itu sendiri. Ayu Utami dalam novel Bilangan Fu dengan baik melukis petualangan dengan narasi yang berisi gagasan-gagasan filosofis dalam setiap petualangannya.

Bagi pembaca awam, novel ini akan menjadi rumit sebelum akrab dengan 562 halaman yang di persembahkan. Ketebalan novel ini akan menjadi carut marut yang tidak bersahaja alias belum mengenal dengan tiga titik penting di dalamnya. Tiga titik tersebut dicantumkan pada bagian daftar isi (Modernisme; Monoteisme; Militerisme) sebagai triangulasi yang mungkin tidak akan dipahami oleh pembaca awam kecuali oleh penulis itu sendiri yaitu Ayu Utami serta pembaca yang sudah terbiasa dengan novel kritis dan dapat mengambil makna serta gagasan filosfis di dalamnya. Apakah ini bentuk keegoisan seorang penulis atau malah membuat tantangan serta kesempatan bagi para pembaca dalam memilih tempat atau posisi ketika menikmati novel Bilangan Fu ? Mungkin iya, mungkin tidak. Tidak perlu taruhan pada bagian ini, sebab sebagai penulis Ayu Utami sudah pasti memberikan kebebasan kepada pembaca dalam menikmati karyanya, dan sebagai pembaca siapapun berhak mengambil tantangan dan kesempatan tersebut.


Kompleksitas Teologi dan Ketokohan dalam Novel Bilangan Fu

Sandi Yuda yang diceritakan dalam novel Bilangan Fu merupakan seorang laki-laki yang sering melakukan ibadah pemanjatan tebing dengan karakter skeptis, keras, petaruh dan pencemooh nilai-nilai masyarakat sebelum ia taubat menjadi lebih baik dengan berbagai kisah yang di alaminya ketika menaklukan tebing Watugunung. Panjat Tebing atau istilah asingnya dikenal dengan Rock Climbing merupakan salah satu dari sekian banyak olahraga alam bebas juga bagian dari mendaki gunung yang tidak bisa dilakukan dengan cara berjalan kaki melainkan harus menggunakan peralatan dan teknik-teknik tertentu untuk bisa melewatinya. Pada umumnya panjat tebing dilakukan pada daerah yang berkontur batuan tebing dengan sudut kemiringan dan tingkat kesulitan tertentu. Ia (Sandi Yuda) mempunyai seorang kekasih bernama Marja, seorang mahasiswa desain yang cakap memainkan situasi kebahagian, ketenangan, dan hasrat tubuh terhadap Yuda. Kemudian Parang Jati, pemuda berjari dua belas dari Watugunung, mahasiswa geologi ITB semester akhir yang berjumpa kali pertama dengan Yuda ketika kembali ke Bandung membeli tambahan pengaman untuk pemanjatan dan penaklukan tebing Watugunung di Bandung.

Tiga tokoh utama yang membetuk pola segitiga tersebut turut berkisah dalam novel tebal dengan petualangan menelusuri lekuk pikuk, ceruk dan gua Watugunung. Sebuah bukit batu di Selatan Jawa sambil membawa spiritualisme kritis menyusuri dan menembusi lapisan tebal kaki tangan ideologi modernisme, monoteisme dan militerisme. Novel yang juga di padu padankan dalam mengkritisi penularan paradigma ilmu-ilmu positif ke dalam ruang-ruang realitas yang sejatinya tak terukur seperti agama, kepercayaan dan kearifan tradisi lokal.

Pada pemanjatan tebing Watugunung, Sandi Yuda ikut takluk pada panggilan bunyi hu dari liang puncak Watugunung. Ia bahkan bermimpi atau lebih tepatnya ketindihan (Hlm.19-20) bercinta dengan Sebul, makhluk serigala-manusia-jantan-betina (Lihat Gambar Hlm. 405). Sebul mewahyukan kepadanya sebuah misteri; Bilangan Fu yang menyedot keingintahuannya. Ia sangat ingin menatap, mengenal dan memahami misteri hu, bilangan sunyi, bilangan yang memiliki properti nol sekaligus satu (Hlm.380). Semacam misteri yang harus di pastikan dengan gamblang oleh Sandi Yuda.

Adapun proyek modernitas yang di formulasikan dalam novel ini memang masih terkesan di campur adukan dengan konsep monoteisme. Sehingga akumulasi budaya yang terspesialisasi pada sub bab judul memperkaya tetapi juga menekan atas kontrol pemahaman kekuatan alam, kemajuan moral, dan bahkan kebahagian manusia. Namun demikian, yang diharapkan dan di cita-citakan atas pencerahan secara bertahap pada novel ini, tahapan yang bisa kembali ke belakang, ke depan, atau kesamping tetap pada koridor alur penulis.

Kalau kita berpikir pendek semua kelihatan jelas. Semakin kita berpikir panjang, semakin kita tahu bahwa begitu banyak di depan dan dibelakang kita yang hanya merupakan anggapan. Terlalu banyak yang tak bisa kita lihat, sehingga orang modern rasional sekalipun sesungguhnya hanya berpedoman pada anggapan dan kepercayaan sendiri” (Modernisme ; Parang Jati : Hlm. 159)

Modernisme adalah alat untuk memperalat. Takhayul adalah alat untuk di peralat.” (Modernisme ; Parang Jati : Hlm. 188)

Parang Jati, seorang bijak. Kelahiran pada bulan Kabisat Kayu dan Mbok Manyar-lah yang menemukan bayi berjari dua belas yang dibuang di sendang mata air ketigabelas, menamainya Parang Jati lalu menitipkan kepada Suhubudi seorang ahli kebatinan agar di rawat dan dari kedua orang inilah Parang Jati mendapatkan gnosis sanguinis; keseimbangan yang terdapat dalam Bilangan Fu. Asuhan Suhubudi membuat Parang Jati menjadi pemuda yang menguasai aneka kisah Babad Tanah Jawi. Ia bijak, teduh, iklusif namun kritis sekaligus setia pada tradisi lama yang luhur, membuat nya semakin elegan meski kisah tersebut sudah tertinggal zaman oleh orang-orang tertentu. Bersama Parang Jati pula, Yuda terlibat dalam strategi budaya menghadapi kesempitan fundamentalisme agama monoteisme yang mewujud dalam pribadi Farisi alias Kupukupu beserta kelompoknya. Kupukupu sebenarnya adalah adik Parang Jati yang juga ditemukan di sendang ketigabelas. Berbeda dengan Parang Jati, Kupukupu dirawat dan dibesarkan oleh sepasang suami istri sederhana yakni Parlan dan Mentel. Kehidupan keduanya berbanding terbalik antara Parang Jati dan Kupukupu. Farisi alias Kupukupu yang bersekutu dengan atau tepatnya diperalat oleh kekuasaan, kapitalisme dan militerisme, hingga akhirnya menjadi hakim jalanan yang sewenang-wenang pada nilai-nilai tradisi lokal yang apabila tidak sejalan dengannya di anggap menyesatkan padahal sekian lama tradisi lokal dan kepercayaan tradisional memelihara alam Watugunung.

Kepercayaan kepada Tuhan satu yang disebut monoteisme. Anggapan agama monoteis yang terangkum dalam tiga agama semit yaitu Yahudi, Kristen, dan Islam. Di Indonesia terdapat dua agama tersebut yaitu islam dan kristen. Tanpa mendiskreditkan agama lain, penulis dengan apik toh mengulas agama lain yang terdapat di nusantara, bahkan kepercayaan serta mistisme yang hidup di pulau Jawa khususnya. Akan tetapi sangat di sayangkan sosok Farisi alias Kupukupu yang dihadirkan meyakini hanya ada satu Tuhan yang benar dan absolut, sedangkan diluar keyakinan mereka adalah salah dan sesat. Keyakinan tersebut padahal sesungguhnya menjadikannya sesuatu yang tidak bisa bebas dan berkembang, terkungkung oleh hukum-hukum yang telah ditentukan dan seolah harus di perjuangkan.

Sedangkan kepercayaan atau ritual yang dilakukan masyarakat setempat seperti orang Jawa masih tetap dihadirkan baik dalam kenyataan maupun pada novel Bilangan Fu ini. Keyakinan dan ritual campuran dari agama-agama formal dengan pemujaan terhadap kekuatan alam serta ruh yang di percaya sebagai sarana bantu dimana Yang Kuasa dapat menampakan diri secara tidak langsung kepada manusia. Keyakinan adanya Tuhan, dewa-dewa, utusan, malaikat, setan, demit, roh-roh alam, roh-roh manusia, berbagai jenis hantu, dan kepercayaan atas kekuatan alam sudah selayak serta sewajarnya mewarnai kehidupan serta mempengaruhi adat istiadat dan mengalami perkembangan nantinya.

Menyikapi nya dengan bijaksana. Sekali lagi, bijaksana. Begitulah penekanan pada novel Bilangan Fu, agar siapapun akrab dengan era toleransi dan meninggalkan era kelam intoleransi. Sikap toleran yang menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) terhadap keyakinan atau kepercayaan lain, ketimbang memusuhinya hanya akan menimbulkan kerugian. Hal tersebut juga dikisahkan pada segerombal manusia cacat yang tergabung dalam Saduki Klan sebagai wahana hiburan sirkus yang didirikan oleh Suhubudi, orang tua angkat Parang Jati. Bagian itu, ada rasa toleran sekaligus ketidakadilan sebab kehadiran segerombol manusia cacat dalam novel ini seolah diskriminatif dari kacamata kesetaraan manusia. (Jadilah pembaca yang bijak). Memahami Saduki Klan seperti menonton diskriminasi tertentu, tetapi apabila membuka mata dengan mindset bijaksana, begitu hebat segerombol orang cacat yang dihadirkan penulis penuh bakat dan kepercayaan diri yang luar biasa.

Selanjutnya dalam novel Bilangan Fu ini, militerisme sebagai sarana agresi di tangan para tiran, tetapi tidaklah bertanggung jawab jika penulis bermaksud mengambil sikap isolasionisme. Situasi pada akhir novel ini menuntut adanya kerja sama antar segitiga tokoh utama diluar pertahanan yang sangat rumit, bahkan bagi kelompok Farisi alias Kupukupu yang menganut prinsip hak individu berpijak pada keputusan kelompoknya. Teror intelijen dan pasukan gelap merajalela, memangsa penduduk yang di anggap menyeleweng dari kaidah agama yang seharusnya. Penghulu Semar pun menjadi korban. Setelah sebelumnya kegegeran terhadap kasus Kabur Bin Sasus (Pemuja Sesajen) yang di anggap bangkit dari kubur. Parang Jati menyadari strategi teror ini dan berusaha membongkarnya. Namun pada titik inilah, Parang Jati pun menjadi target si Kupukupu alias Farisi, para penambang, dan militer ikut memburunya.

Pada kesempatan menggali Goa Hu untuk penelitiannya, Parang Jati dan Yuda menemukan sisa mayat-mayat yang dahulu diisukan bangkit tersebut : Kabur bin Sasus, Penghulu Semar dan yang lainnya. Ia dan Yuda beserta para peneliti lainnya diinterogasi. Celakanya, pokok persoalan beralih, dari fakta bahwa peristiwa tersebut merupakan kerja sistematis intelijen menjadi isu aliran keagamaan baru dengan Parang Jati menjadi pendirinya. Akhirnya Parang Jati diajukan tuduhan utama. Bahwa ia memimpin aliran sesat dan mencampuradukan ajaran agama dengan kepercayaan dan ritual sesat dengan menggunakan mayat. Ia nyaris diadili para laskar Mamon (manusia monoteisme fanatik) pimpinan Farisi alias Kupukupu yang terlihat mengerti bahasa dan strategi militer. Namun ia sempat tertolong dengan kedatangan dua polisi Karna dan Kumbakarna kenalan Yuda ketika keduanya masih bertugas di pos jaga Watugunung. Parang Jati dibawa pergi.

Di tengah jalan, rombongan Karna, Kumbakarna dan Parang Jati tiba-tiba di hentikan paksa oleh pasukan tak dikenal (Hlm.528). Pasukan berjumlah sekitar sepuluhan itu memerintahkan ketiganya meninggalkan mobil dan berjalan ke arah hutan dengan tangan di belakang kepala. Ketiganya diberondong tembakan. Kedua polisi berhasil menyelamatkan diri, namun Parang Jati tertembak, ia sempat melangkah ke puncak Watugunung, Mengambil dan mengantongi batu endapan kelabu fosil labirin cangkang siput yang dahulu dilihat Yuda, batu bertuliskan Bilangan Fu. (Hu dan Fu, sama terikatnya dalam pengucapan ; Fosil labirin cangkang siput yang menjadi cover dari buku novel Bilangan Fu). Ia menghembuskan nafas terakhir tatkala kepalanya dielus sang ibu yang menemukannya dalam keranjang, Mbok Manyar.

Setelah kematian Parang Jati, Marja ke London meninggalkan Yuda karena pedih dan trauma yang tak bisa mereka atasi (Hlm. 507). Karena, jika Yuda adalah bilangan satu, Marja bilangan nol dan Parang jati adalah bilangan hu. Segitiga yang sisi-sisi nya melepaskan diri tanpa melupakan satu sama lain. Dengan kenangan dan pengharapan yang lebih penting adalah kebaikan, terutama kata-kata Parang Jati, Kebenaran itu selalu dalam future tense. Kebaikan selalu present tense. (Hlm.521). Akhir kisah misteri novel Bilangan Fu yang tragis namun menyisakan ruang bagi siapapun untuk menyelaminya berulang-ulang. Termasuk Kupukupu yang terlihat murung dan mengalami persoalan lain di sekitar lingkungannya : Eksistensi diri yang terguncang.

Bilangan Fu, "Mengapa mengenai bilangan kau hanya berpikir tentang urutan yang linear ? Lihatlah, ada bilangan yang terjadi karena lipatan, dan mereka membentuk yantra yang konsentris". (Hlm.305). Semua kebaikan memang menuju hal yang lebih baik seperti makna yang bergerak dari oposisi pasti ke misteri, matematis ke metaforis, satu ke nol, rasional ke spiritual, kesadaran modern ke takhayul, modern ke postmodern, paksaan ke dialog, dari dirty climbing ke clean climbing. Laku kritis dan Spritualisme kritis menjadi hangat untuk kemudian di pahami, ditafsir dengan lebih baik dalam cara yang lebih terjangkau dalam novel ini. Terimakasih kepada novel Bilangan Fu dan Ayu Utami yang memberi pelajaran teologi dan memberi semangat sejuk yang menantang untuk berjuang membangun teologi dan kompleksitas keberagaman yang ramah tamah terhadap budaya lokal dan memihak kelestarian ekologi.



Author :
Ayu Sri Ratna Y, nama lain Aysrayu termasuk semua akun social media 
(facebook, twitter, Instagram, etc). Berjenis kelamin : monster Ubur-ubur.

Sabtu, 05 Mei 2018

Ngapain Naik Gunung ?

Supaya bisa turun gunung 




Masih dalam ingatan ...
Langit,
Purnama,
Jalanan diwaktu petang,
 Percakapan dikereta,
Naskah yang belum selesai,

Kota Istimewa
Arek Suroboyo
Apel Batu Khas Malang


Ranupani-Ranukumbolo-Kalimati-Arcopodo-Mahameru 


TOKOH

Kami menanggung suasana yang mengasyikan dengan pesona ketinggian Mahameru (3676mdpl). Masih dengan April dan para pelaku pendakian yang terdiri dari 8 orang dengan sebutan khas masing-masing ( Ajet ; Padik; Aes; Ikeuw; Bumiran; Abah; Tu; Yuk) . Yang kutahu Ajet sudah beristri dan punya seorang pangeran kecil serta Ratu yang begitu ia muliakan. Padik seorang mahaguru yang berburu mahameru sama seperti Aes, mereka datang dengan misi kuat dari dua tahun sebelumnya pernah berhutang belum sampai pada anugerah puncak Mahameru. Bumirah dan Abah adalah sepasang kekasih yang sudah halal baik dimata agama maupun dimata semesta. Tu, ia datang dari kebosanan dengan tekad enjoy in the journey . Ikeuw dan Yuk (its me) sepasang kemungkinan yang berprinsip kuat soal tekad.

Siapapun kami – kami berada disana untuk melindungi diri dari realitas yang ada diluar.

Mendaki, hal yang membentuk keakraban kami, melemparkan kami kedalam kompleksitas yang kami harapkan, mendapatkan pencerahan dari lampu rahasia perjalanan. Kami harus mampu membuka setiap sudut diri kepada orang lain yang kami baru tahu keberadaannya, menelanjangi keasingan agar mampu memantulkan kepercayaan diri, serta berbagi ... bahwa bersama lebih baik ketimbang sendiri.



**


To Travel is To Live
How Do You Go There ?


Kamu hanya tinggal melangkah, setelah kamu mematangkan tekad dan persiapan baik rohani maupun ragawi. Pertama, write ur goal !!! ex. (MT. SEMERU – MAHAMERU – BACKPACKER - 27 APRIL 2018) tidak peduli akan terwujud atau tidak, setidaknya kamu pernah menulis tujuan dan Tuhan pasti tau itu, selama tulisan itu ada, selama itu pula kemungkinan terwujud pasti ada.



*Ada kejadian menarik dari berbagai perencanaan. Di antara 100 rencana, mungkin hanya 1 yang terlaksana, tapi bukankah itu lebih baik dari pada tidak sama sekali. Bahkan 1 rencana menjadi sangat istimewa karena ia menguasai kebahagiaan terbesarmu. Sebelum Mt. Semeru dkk ada rencana lain, musabab kendala yang aneh sehingga tidak bisa terwujud. Pernah ditertawakan karena terlalu banyak rencana dalam hidup ini, tapi kawan ... apa saking sedikitnya rencana mu sehingga kamu menertawai banyaknya rencana orang lain ... ur life isnt my life, hidupi saja hidupmu ...*


Kedua, hal yang paling sensitif dalam bepergian. Badget . Pada bagian ini, aku sulit menalarkannya, toh tiap orang sangat berbeda dalam pengeluaran maupun pemasukan keuangannya. Its my story :


*Februari lalu, setelah turun dari Mt.Sindoro, ada sebuah tekad untuk pendakian selanjutnya. Tekad tersebut dibarengi dengan mencari pemasukan tidak hanya mengandalkan uang saku perbulan semata. Februari akhir dapat job mengolah perpustakaan, hasil uang tersebut digunakan untuk membeli tiket pulang-pergi. Ikeuw dan Yuk menggunakan tipe semi-backpacker, dimana fisik kami harus benar-benar kuat karena perjalanan mondar-mampir. Ya, dari Jogjakarta menuju Surabaya, dari Surabaya menuju Malang, dan sebaliknya. Itulah alur besar yang dilalui, sebaik mungkin menekan badget agar tidak bablas. Akomodasi perjalanan alur besar menghabiskan badget 200k.  

Selanjutnya, uang saku bulan berikutnya kami mencoba menabung. Sebagian untuk logistik diatas gunung 100k/orang, logistik perjalanan 100k/orang , simaksi gunung 83k/orang, carter angkot st Malang – Pasar Tumpang 130k/tim, carter jeep tumpang – Ranu Pani 650k/tim untuk satu kali jalan (so, cari orang agar dapat harga murah perorang). Dengan 700k terlihat lumayan aman kan !!!

Pada bagian ini, aku ingin menceritakan hal yang memilukan sebelum badget aman. Karena dibalik suatu bepergian selalu ada kendala. Agak tidak layak diceritakan, yang pasti ku haturkan terimakasih kepada beberapa pihak yang menyelamatkanku dimalam kecelakaan itu, meskipun ada pengeluaran lain yang lumayan besar sebelum pergi. Jadi, berhati-hati lah terhadap godaan iblis yang mengganggu jalannya kebahagiaanmu*


Ketiga, ini penting ! Peralatan. Pada dasarnya aku bukan pendaki, aku hanya senang mendaki, menemukan perjalanan, merasai dingin dan kabut, serta mengukur diri. Alat menjadi sangat penting bagi pendaki. Konyolnya, aku hanya bermodal sugesti agar tidak kedinginan. Peralatan yang terdiri dari SB; Headlamp; Jaket Polar; Baju Hangat; Peralatan Masak; Sepatu Tracking; Sendal; Tenda; Flysheet; Tracking pool; gaiter; kaos kaki; dkk. Itu alat yang tidak boleh di sepelekan, karena nilai fungsi nya sangat terasa apalagi dalam pendakian yang ekstrim.


Ke-empat, ke-Lima, Ke- Enam, ke- Selanjutnya .... Mari melangkah !!!


Basecamp Ranupani lumayan agak terbuka apalagi kalau ditambah ramai pendaki yang lain, lumayan dingin. Beberapa pendaki bahkan mendirikan tenda di Basecamp Ranupani. Berbeda dengan Basecamp Pasar Tumpang yang hangat dan tertutup tetapi tidak begitu luas. Perjalanan dimulai dihari pertama jam 9 semua tim dikumpulkan untuk briefing, ada beberapa kiat-kiat serta himbauan sebelum memulai pendakian. Peraturan pun ditambah demi terjaganya alam dan wilayah konservasi. Setiap carier dan kelengkapan berkas resmi diperiksa demi keamanan dan pertanggungjawaban. Beberapa larangan seperti biasa dalam setiap pendakian yaitu dilarang membawa istri kepala desa setempat tanpa izin, memegang alat pendeteksi aktivitas gunung dipuncak mahameru, bisa-bisa 24 kabupaten mengungsi apabila kita usil, dilarang membawa spidol;tisu basah serta ketidakwarasan lainnya. Begitulah kurang lebih ... Pendakian dimulai dengan doa dan mantra masing-masing.


Kami mendirikan tenda di Ranukumbolo serta Kalimati.
Memulai summit pada pukul 23.00 pm – 05.00 pm.
Turun pukul 09.00 pm, lanjut pulang ...
Menikmati Malang ...
Menikmati Surabaya ...
Back to reality ... Jogjakarta

Aku ceritakan apa yang bisa aku katakan.
Aku haturkan terimakasih untuk Rosma dan Agus serta beberapa tempat mondar-mampir.

Maka,
Demi segala harapan yang kau percaya bahwa ia ada,
See u next trip...


 
Kenangan #Malang


A L T I T U D E















Taken by @mikeapril

#Ranu Kumbolo

Tanpa unsur karangan; entah dari masa lalunya atau
Lebih kepada ketiadaan yang imajiner, 
Aku tahu dengan pasti, kau menembus batas kulminasi keindahan masa kini
Entah bagaimana ...
Dalam perbincangan nama-nama kebaikan
Bibirnya dan Bibirku tersenyum lebar
Engkau tidak butuh daya tarik seksual
Sungguh betapa kejamnya Tuhan ketika menciptakan keindahan
Ranu Kumbolo, sukar dilupakan
Aku mencintai mu, 
Sepanjang ingatanku





#Kalimati

Kain putih yang memeluk ketinggian kayu
Disana ada sebuah pintu masuk menuju kerajaan gaib

Kau percaya ? Kuharap Iya

(Lagi) setetes air di Sumber mani
Di jaga oleh mereka yang berloreng
Di larang melempar kata-kata, apalagi benda
Ada jalan sempit, luas, dan yang tidak tampak dalam hutan
Bahasa tidak boleh dipaksakan, kata mereka




 #Arcopodo – Mahameru
Taken by @mikeapril

“Demi diriku”
“Demi diriku”
“Demi diriku”

BUKAN

Puncak para dewa
Tanah tertinggi dipulau Jawa
Tahta Mahameru, maafkan menjumpa tanpa mengundang
Terimakasih kepada Gusti Alam






















Kamis, 21 Desember 2017

MANAGING CHANGE ; HOW WE BECOME A LIBRARIANS ?


WHY I STILL LOVE THE WORDS LIBRARY & LIBRARIAN ???
AND WHY WE NEED TO REDEFINE THEM ???

Perpustakaan adalah tanda peradaban geologis yang harmonis. Gedung yang menimbulkan kesan amat kuat tentang betapa tingginya peradaban manusia dibidang tulis-menulis dan pengetahuan. Ribuan karya tercipta menuliskan dirinya dan tersimpan di gedung yang bernama perpustakaan. Meski hanya ada 26 huruf dizaman ini, Mereka bisa memenuhi perpustakaan. Buku, demikian besar pengaruhnya dalam menentukan arah dan kebesaran sebuah peradaban kini dan yang akan datang. Itulah buku, benda yang memiliki andil begitu hebat dalam melahirkan peradaban-peradaban besar, semua menyadari bahwa buku bukan sekedar memberikan kita segudang pengetahuan atau sekadar memuaskan dahaga intelektual. Namun, buku memiliki peran dalam membentuk cara berpikir, bertutur, serta berbuat. Disinilah seharusnya mahasiswa bisa mengambil peran penting, yang mengisyaratkan bahwa mahasiswa mampu mengubah kehidupan bangsa ini. Betapa tidak, ekspetasi dan tanggung jawab yang diemban oleh mahasiswa begitu besar sebagai agent of social change yang melekat pada jati diri seorang akademisi. 

Mahasiswa yang sesungguhnya adalah mahasiswa yang tidak sekadar memikirkan kepentingan akademis semata, jauh tersirat dalam benaknya tentang arti dan kualitas hidupnya sebagai pribadi yang mampu mengabdikan diri terhadap masyarakat. Suatu keadaan yang sangat menyedihkan terhadap rendahnya minat baca dan pendidikan di Indonesia hendaknya menjadi perhatian mahasiswa, salah satu tipe mahasiswa yang paling dekat dengan rujukan pengetahuan yaitu Mahasiswa Ilmu Perpustakaan.

Pada bulan Oktober 2017, Mahasiswa Ilmu Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga diberikan amanat dalam merealisasikan apa yang telah dipelajari nya selama ini di bangku kuliah. Bapak Pustakawan Indonesia, Blasius Sudarsono dalam talk show pada tanggal 5 Desember 2017 menyampaikan bahwa sebuah praktek berasal dari teori, memaknai dunia akhirat seorang pustakawan adalah dengan prinsip spirit of doing something untuk menciptakan information society yang menyeluruh, sebab pustakawan adalah panggilan hidup untuk menjadi manusia paripurna dan bahagia.

Dengan kehadiran Mahasiswa Ilmu Perpustakaan yang tersebar ke perpustakaan, yang belum di kelola dengan baik khususnya Daerah Istimewa Yogyakarta, diharapkan mampu memberikan bakti kepada perpustakaan yang di kelola sedemikian rupa demi menunjukan eksistensi lahir batin sebuah perpustakaan beserta fungsionalnya selama ini. Mulanya perpustakaan hanya sekumpulan rak yang berisi buku, bahkan hanya sekadar tatanan buku yang diam tanpa memiliki daya tarik, jumlah buku tanpa diketahui, serta pemanfaatan dan perkembangan yang tertinggal oleh zaman yang semakin modern. Tak jarang terlihat agak menakutkan, dingin, bahkan berantakan. Padahal banyak masyarakat yang tidak berkeberatan duduk disana berlama-lama dari yang tua renta hingga pemuda dan anak-anak kecil demi mendapat pengetahuan dan pembelajaran sampai hiburan, mulai dari obat-obatan, sejarah, pertanian, bacaan fiksi sampai keagamaan.

Tentu bukan Negara asing yang baru kita dengar, kedua Negara yang sangat sering dibicarakan diberbagai buku atau situs internet. Negara Inggris dengan contoh Negara tua namun terawat, perpustakaannya maju serasa istana klasik nan elegan dan tidak membosankan untuk terus membaca diberbagai bagian gedung perpustakaan itu. Begitu pula Amerika Serikat dengan perpustakaan, bisa diakses dimana saja via internet, gedungnya mirip kantor dan toko buku dengan berbagai desain interior menarik. Tidak mengherankan Negara tersebut menjadi pusat buku-buku modern sumber kajian pustaka para pelajar maupun peneliti dari berbagai belahan dunia dari Negara lain. Menjadi hal yang mungkin Negara Indonesia mampu melampaui Negara Adidaya tersebut.

Dengan kehadiran mahasiswa Ilmu Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga dalam dimensi manajemen strategis untuk mengelola perpustakaan dengan prinsip Kaizen ( Japan : Lebih Baik ) yang di naungi oleh Labibah Zain, M.LIS,. Maha Guru dalam bidang perpustakaan sekaligus inspirator dalam bidang Librarian Science membagi mahasiswa-mahasiswa nya dalam beberapa kelompok untuk menjalankan mandat beliau yang tidak hanya memenuhi syarat tugas kuliah melainkan memberikan feed back bagi kami sebagai mahasiswa Ilmu Perpustakaan baik personal, comunity, maupun society.

Tim Manpus 2 yang terdiri dari Setyo Budi Saptono, Ayu Sri Ratna Yuningsih, Nurhidayah, Nikhla Tazki, Atma Fathurahman, Iga May Zakaria, Restu Windu, Vicky Camila, dan Ummul Maghfirah, memilih Perpustakaan SD Suryodiningratan 2 yang berlokasi di Jl. Pugeran No.21, Suryodiningratan, Mantrijeron, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta 55141, sebagai perpustakaan yang harus kami benahi baik pengolahan maupun interpretasi kedepannya. Setiap individual dalam Tim Manpus 2 mempunyai tupoksi masing-masing, mulai dari bagian shelving, dokumentasi, input slims, inventaris, penyiangan, serta preservasi dan konservasi diperpustakaan tersebut. 















-- BEFORE --


Perpustakaan yang Tim Manpus 2 kelola sebetulnya mempunyai potensi yang besar sebagai fasilitator sumber pengetahuan apalagi dengan sasaran civitas warga sekolah dasar yang didominasi oleh benih-benih muda anak-anak yang daya nalarnya sedang dikembangkan dan penyerapan pada masa inilah dapat dimaksimalkan. Dengan jumlah koleksi kurang lebih 4000 meliputi berbagai jenis koleksi seperti fiksi, buku mata pelajaran, dan lainnya sangat menunjang untuk kemudian dipertanyakan kebermanfaatnya. Akan tetapi perpustakaan ini belum dikelola dengan baik, Pra dan Pasca hadirnya Tim Manpus 2 dapat terlihat pada dokumentasi yang kami publish melalui blog ini. Koleksi buku yang ada pada perpustakaan SD Suryodiningratan 2 belum memiliki label buku serta data inventaris yang jelas, penunjang lainnya seperti visi misi, lambang dan logo belum nampak jelas diperpustakaan ini. Selain itu, koleksi perpustakaan hanya dipakai sekedar bahan penunjang sehingga pelestarian koleksi belum terlihat. Untuk itulah Tim Mampus 2 memulai kinerja nya dari mulai menata ulang ruang perpustakaan yang bercampur baur dengan berbagai peralatan yang seharusnya ada digudang, melakukan kegiatan untuk mewujudkan perpustakaan yang sebenarnya sebagai information retrieval, serta inventaris dengan baik agar data buku diketahui sehingga statistik kemajuan dalam kehadiran koleksi dapat terdeteksi. 






-- AFTER --

Meski demikian, bukan tanpa kendala kami memulai praktik nyata diperpustakaan sekolah dasar ini. Pada dasarnya kami memberikan loyalitas tanpa menitikberatkan pada pencarian keuntungan, tetapi dalam pengelolaannya harus ditangani secara profesional karena hal ini menyangkut kemajuan perpustakaan itu sendiri. Dalam pengendalian sumber daya manusia yang mengelola perpustakaan ini yaitu Tim Manpus 2, belum begitu maksimal. Hal ini bukan tanpa sebab, mengingat diluar praktik nyata mengolah perpustakaan, kami juga membagi waktu dengan berbagai kegiatan diluar maupun didalam kampus. Begitupun dengan pihak sekolah sendiri yang setengah-setengah dalam memberikan kepercayaan kepada Tim Manpus ini. Pernah suatu ketika, salah satu tim kami dibagian inventaris dan dokumenatsi ditanyai tanggung jawab nya terkait logo cap dan nomor inventaris yang katanya dipesan jauh hari, padahal sudah jauh hari pula kami memberikan option untuk logo perpustakaan. Kemudian pihak sekolah memodifikasi sendiri logo yang diinginkannya tanpa memperhitungkan logo yang sudah kami buat dengan berbagai pilihan. Sedangkan nomor inventaris yang kami tidak tahu menahu data buku mana yang akan di inventaris, tiba-tiba dimintai nomor inventarisnya saja. Hal ini memang konflik kecil tapi amat membingungkan dan membuat kerja kami terhambat oleh sekelumit emosi ringan, karena setiap individual memiliki sikap yang berbeda dalam menghadapi suatu tugas / pekerjaan, belum lagi ketidaksesuaian sistem kerja masing-masing bagian kadang menimbulkan konflik tersendiri. Efek suatu konflik kecil tidak selalu berdampak negatif apabila dikelola dengan baik. Oleh karena itu, langkah antisipasif terhadap kendala yang kami dihadapi adalah dengan keterbukaan, kesadaran, dan kesabaran.

Memang betul yang dikatakan oleh seorang pemimpin daerah bahwa pekerjaan yang paling menyenangkan adalah hobi yang dibayar. Tim Manpus 2 hanya sebagai mediator yang memberikan perannya sebagai mahasiswa untuk memacu dinamisasi perpustakaan agar berfungsi dan berusaha memfungsikannya. Bahagia yang diperoleh dari Tim Manpus 2 adalah kekeluargaan yang secara harfiah memberikan makna agar tidak dilupakan, bukankah yang berhasil pada saatnya akan terpulang pada bukti ? Mahasiswa yang akan selalu dikenang karena meninggalkan bukti-bukti nyata yang berguna bagi kepentingan masyarakat luas. Kami mengucapkan banyak terimakasih kepada pihak SD Suryadingratan 2 telah mendukung mahasiswa Ilmu Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga dalam mengelola perpustakaannya, serta kepada Tim Manpus 2 ilmu dan bakti kita tidak akan sia-sia. Nilai-nilai peran kita sungguh diharapkan nantinya agar bisa menjadi pembangkit dan pendorong dimasyarakat.



Salam Pustakawan !!!

Sabtu, 04 November 2017

P untuk Puisi


Diruang persegi ini, dan kaca yang sudah pecah merengek meminta penyatuan abadi, 
Bersama mereka yang datang dan pergi, pulang dan kembali kepada illahi.
Aku ingin diam selamanya tapi tetap hidup,
Ketika mereka hanya bilang "ini tantangan bagi lelaki",
Dan aku katakan bahwa “inilah inspirasi bagi perempuan”.
Mengapa harus bersaing ? Dan maju diantara desakan atas nama pembelaan.
Vonis sudah berlaku, jauh sebelum aku mengenal apa itu ….(titik-titik)
Suatu saat aku akan menyesal,
Menyesal karena telah menyesal menjadi bagian dari apa yang pernah diucapkan oleh ramalan-ramalan sinting yang sudah kadaluarsa.
 Sebab aku tahu, ada yang lebih menderita.
  Aku kapas busuk yang sudah lapuk bersama tanah.
 Tetapi aku siap untuk esok kembali menantang kenyataan
Meruntuhkan tembok ketidakmungkinan.
Rumah bagi misandry adalah kesepian. Semoga lekas sembuh.


Yk, 2016



Kepada para wanita aku berpesan,
Hendaklah menilai, menilik, dan memperbaharui hidup ini
Tentang siapa yang menggandeng lengan atau mengayun kaki bersama
Perlu dipertanyakan kejelasan, yah itu dia kejelasan .
Apa maksud anda semua ini kepada ku ?
Apa hanya untuk bermain semata
Kalau lah kita ber visi misi hidup sebanding, berjalanlah disamping ku
Kalau lah hanya untuk berdikte bersama, untuk habiskan waktu yang tersia-sia itu
Tunggu saja aku di belakang pintu.
Biarkan diriku berfokus pada terdidik, pada masa yang dinikmati
Tanpa aku mengenalmu siapa, siapa sebenarnya kau
Apa seperti yang diceritakan orang-orang
Atau seperti apa yang selama ini ku curigakan
Dan jawab itu dengan jelas,
Kekasihku


Yk, 2016



Aku menari pada ritme senar gitar
Memaafkan sang laki-laki karena keraguan
Aku adalah perempuan
Uterus yang rakus, monster jalang, binatang sialan
Ia tidak pernah merasa puas !
Ia lebih kuat, tak tertandingi,
dan lebih lapar dibanding kita dalam hal perjuangan
Perempuaan-perempuan bersaksi
tidak peduli apakah ia bahagia atau tertekan
Merasa korban alam semesta atau penakluk pejantan
Kenyataan pada dua tubuh yang terpisah
Kami Srikandi yang dibebaskan

Konon perempuan yang dikatakan indah itu malah dieksploitasi
Dibalik nada pembelaan emansipasi
Ketimpangan kian menjadi-jadi
Setapak perempuan keluar pagar
Ia dihujani celaan
Tradisi yang semakin membelenggu
Wejangan berulang-ulang
Mustahil
Berharap tepukan dipunggung sebagai pengemudi kehidupan
Mengapa perempuan tidak memimpikan kekuasan ?


Yk, 2017