Senin, 17 April 2017

Pohon Og


Pohon Og
(im librarian) 



Pohon adalah simbol organisasi (Pohon Og).

Tanggapan kita dan khalayak ramai akan kita ladeni dengan harian tetap yang tak kunjung padam hendak mempertahankan perjuangan. Semangat dan keyakinan yang menjadi sumber kekuatan tidak akan dapat dipatahkan apalagi dengan pengekangan. Disamping renungan yang dimuat oleh sebagian besar kaum intelektual. Katanya, banyak diantara kaum intelektual yang menganggap bahwa sekarang ini justru masih berani menipu kecerdasan demi kepentingan dirinya. Apakah kita akan memalsukan masa depan ?

NO !!!

Sebagai cendikia, independensi dipertunjukan ketika saya ingin mengambil posisi netral ditengah pentas komunitas atau organisasi. Afiliasi berbeda pada tiap komunitas yang membuat saya mengambil jalan berbeda. Apa yang saya lakukan semata-mata menjaga sikap kritis dan bukan independensi kampus dari tekanan sana-sini. (Perlakukan orang apa adanya, maka dia akan tetap menjadi apa adanya, Perlakukan orang sesuai dengan kemampuannya, maka dia akan menjadi orang yang menunjukan kemampuannya dan menjadi sosok yang semestinya : Goethe) Kutipan ini spontan saya pungut dari buku pertama yang saya punya dikampus. Sebagai seorang mahasiswa sarjana gedung kertas (Ilmu Perpustakaan;UIN Sunan Kalijaga), yang mungkin tidak ada tempat dimasyarakat yang begitu benar-benar romantis dan demokratis seperti perpustakaan. Disanalah orang, saling menceritakan, saling menemukan, menurunkan suara mereka, dan meningkatkan pikiran mereka. Disanalah Pustakawan berdiri sebagai jendera perang melawan kebodohan. Seseorang ketika masuk ke dalam dunia tersebut akan mengingat eksistensinya sebagai seorang yang mampu menjadi referensi keindahan, keselarasan, tantangan, dan cita-cita yang hanyut dan tenggelam kedalam selera pasar pendidikan. Ketika itu pulalah biasanya pustakawan dengan ukuran akademisnya adalah fungsi dalam strategi kebudayaan.


KNOW …

Saya sudah berkali-kali mendengar, para sepuh berpesan : Dunia global itu penuh persaingan, maka hanya mereka yang berkaryalah, yang konsisten dengan kerja keras, akan tetap berada dijalur tersebut. Pada titik tertentu saya mengerti maksud pesan tersebut. Lihat pula hal-hal ini mungkin mereka yang mengupload tulisan tentang cerita suatu komunitasnya, dengan tegak kepala bilang : Tulisan saya untuk diri saya sendiri. Wah, bagus…makan sendirilah tulisanmu.

Lalu ada yang bilang : Kita butuh media untuk mentransformasikan minat dan problem yang sama dengan permasalahan yang ada, mengenalkan kepada mereka tentang perkumpulan orang pada suatu wadah yang mempunyai program kerja , struktur organisasi, dan tupoksinya, begitu maksudnya ! Untuk hal yang seperti itu, saya menundukan kepala : ya, hebat. Kalau begitu berjuanglah disana. Sayangnya, hanya sedikit yang melakukan itu. Selebihnya formalitas mengumpulkan tugas dan orientasi nilai.

Pada akhirnya saya percayakan semuanya kepada logika.

Saya tergugah menjadi anggota dari sebuah komunitas jurusan terkait Ilmu Perpustakaan. Jika boleh jujur, saya suka dengan segala jenis pengetahuan, selama itu sejalan dengan apa yang dipikirkan dan setuju dengan apa yang dirasa untuk mendapat harapan yang sedang carut marut dengan bijak. Komunitas ini saya minati atas dasar aspirasi akan kehidupan yang sederhana, berani, bersahabat, dan menempati budaya literasi yang tinggi. ALUS (Asosiasi Mahasiswa Ilmu Perpustakaan) dan OMIP (Organisasi Mahasiswa Ilmu Perpustakaan) saya tergabung dikeduanya , mencoba membangunkan kembali idealism dikalangan mahasiswa ilmu perpustakaan untuk secara jujur mencintai pengetahuan, budaya literasi, budaya membaca, dan loyalitas kepada kemajuan intelektual bangsa. Melalui dua komunitas ini, independensi saya sudah berubah dari sikap personal ke institusional.

Dua komunitas yang memiliki tujuan utama yang sama. Tujuan itu merupakan institusionalisasi nilai kemandirian, kecerdasan, kritis, dan kecintaan terhadap literasi yang dibangun secara kolektif oleh para anggotanya. Saya hanya sebagai bagian kecil dari tiap komunitas itu, yang turut membaktikan nilai-nilai sosial melalui berbagai kegiatan seperti Jogja Membaca, Bhakti Pustaka, Seminar nasional, Pelatihan Tiap Divisi, dll. Tak dapat disangkal, nilai-nilai tersebut tertanam menjadi keteladanan dan sosok inspirasi. Ya, begitulah.

Sampai detik tulisan ini dibuat, saya belum mendapat inspirasi atau motivasi meskipun cuma basa-basi yang tidak membuat mumet. Disinilah saya mendapat kejanggalan berbahasa. Setiap orang, keluarga, dan komunitas mempunyai sejarah yang panjang atas diri mereka sendiri, sejarah itu tiba-tiba tenggelam seperti terkubur dalam lumpur. Banyak pihak yang menyederhanakan permasalahan emosi, sejarah, kenangan, menjadi sederet angka. Pada titik itulah saya beralih menjadi seorang yang gemar berliterasi lewat media sosial. Ibarat pelukis kata, kuas yang digunakan yang telah ditempanya itu diterima oleh tangan yang penuh lumpur keteledoran. Digunakan untuk memoles dan memperhalus bahasa agar memberi kesan yang baik dan menguntungkan. Padahal kenyataannya tidak demikian. Butuh sekian banyak syarat dan konsistensi, juga kerja keras dan keras kepala untuk sekali niat menulis dikebutkan. Media sosial mempermudah pertemuan para manusia yang punya cerita, cerita yang membuat bangga dan mampu dikenang bahkan layak didongengkan.

Tanpa perjuangan membebaskan pikiran kita menjadi merdeka, mustahil mekar kalau digembok dalam kandang. Diantaranya (SKK; Seddayo;Tomat) yang menjadi referensi analog saya dalam dunia literasi. Mempublikasikan catatan-catatan harian atau infromasi belajar yang membutuhkan netralitas sang ilmuwan, universal dan bebas nilai. Kebudayaan tulis ini suatu hari nanti akan melahirkan industry yang memungkinkan terciptanya arsip dokumen, definisi tertulis, pemikiran bangsa, kesatuan berbagai pengetahuan dan keindahan. Karena dunia Intelektual selalu memberi tempat kepada para akademisi.





Suatu hari nanti
Aysrayu, 2017

0 komentar:

Posting Komentar